Love in Action is Harsh

Seorang teman pastor berkisah tentang seorang penulis Rusia yang bernama Fyodor Dostoyevsky. Banyak Tulisan Dostoyevsky berpijak pada tema-tema spiritual, di antaranya adalah tema cinta kasih yang dikembangkannya secara unik. Pernah ia menulis kisah tentang seorang ibu muda yang telah kehilangan suaminya. Tentu saja sang janda diliputi rasa sedih dan cemas yang teramat dalam. Sang ibu mendekati seorang pastor dan mengatakan bahwa ia sungguh amat sulit untuk menjadi yakin akan keberadaan Allah serta akan kehidupan setelah kematian. Sang pastor dengan pelahan-lahan menjelaskan bahwa sungguh amatlah sulit bagi kita untuk mengukuhkan atau mementahkan gagasan tentang keberadaan Allah. Demikian pula kita sulit untuk mengatakan bahwa hidup manusia ini bersifat fana atau kekal. Namun demikian kita harus berjuang tanpa letih untuk mencintai sesama kita secara aktif. Hanya bila kita mampu berkembang dalam cinta kita akan sesama, maka keyakinan kita akan keberadaan Allah akan semakin menjadi jelas bagi kita. Hanya dengan cara ini kita akan menjadi sadar bahwa hidup manusia amatlah bersifat fana dan terbatas.

Sang janda lalu menceritakan bahwa ia amat bermimpi untuk memberikan seluruh harta miliknya kepada kaum miskin dan selanjutnya menjadi seorang suster untuk membaktikan dirinya seutuhnya bagi kaum miskin. Namun ia tetap saja merasa kwatir apa yang akan dikatakan orang lain tentang dirinya kelak. Dari kisah sang janda ini, Dostoyevsky lalu memberikan kata-katanya yang terkenal: "Love in action is a harsh and dreadful thing compared with love in dreams." Cinta yang dihidupkan adalah cinta yang menakutkan, cinta yang berat dan menuntut pengorbanan bila dibandingkan dengan cinta yang ada dalam mimpi. Cinta yang dihidupkan secara nyata tak henti-hentinya menuntut pemberian diri, menuntut pengosongan diri.

Seorang ibu yang telah menikah dan memiliki dua anak datang mencari seorang imam dan menceritakan bahwa suaminya saat ini begitu kejam terhadapnya. Suaminya tak mencintainya, dan betapa ia merindukan seseorang yang sungguh mencintai dirinya. Dan ternyata kini pria impiannya, pria yang dapat mencintainya muncul dalam hidupnya, dan karena itu ia ingin segera menceraikan suaminya saat ini untuk selanjutnya menikah dengan pria idaman tersebut. Sungguhkah ia akan menemukan cinta yang indah itu? Mungkinkah hal itu hanya merupakan cinta yang berada dalam mimpi yang belum terwujud? Cinta dalam mimpi selalu indah, namun ia akan menjadi sesuatu yang mungkin menakutkan, sesuatu yang harus dipikul sebagai salib bila ia menjadi kenyataan. Tidak heran kalau ada yang mendefenisikan cinta sebagai berikut; "Love is practice, preparation, and perspiration." Cinta adalah suatu latihan yang tak pernah selesai, yang membutuhkan persiapan yang matang, dan menuntut cucuran keringat, menuntut suatu usaha keras agar cinta tersebut bertahan hingga kekal.

Dalam InjilMatius 22:34-40 kita mendengar Yesus memberikan perintah yang paling utama: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu... Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." (Mat 22: 37-39). Ada yang mengungkapkan kebenaran tuntutan hukum utama ini dalam sebuah puisi yang indah: "Aku mencari jiwaku, namun kudapati kehampaan. Aku mencari Allahku, namun Ia berkelit. Aku mencari sesamaku, dan kutemukan ketiga-tiganya." Dalam sesama aku menemukan diriku. Dan dalam sesamaku pula kutemukan kehadiran diri Allah.

Sudah sejak awal penciptaan Tuhan melihat bahwa tidaklah baik bagi manusia untuk hidup sendirian seumpama sebuah pulau yang sepi sendirian di laut lepas. "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja." (Kej 2: 18). Manusia membutuhkan orang lain. Manusia adalah makhluk yang komunal, yang membutuhkan suatu komunitas. Dan konsep Ubuntu dari Afrika adalah benar ketika mengatakan; "I am a person because of other people." Aku menjadi seorang manusia karena adanya manusia yang lain. Keberadaan orang lain membantu aku untuk belajar hidup secara manusiawi, belajar hidup sebagai manusia yang beradab, belajar berinter-aktif dengan orang lain, belajar menerima kehadiran orang lain. Keberadaan orang lain memampukan aku menjadi makhluk pencinta, seorang yang mampu mencintai dan dicintai, membantu aku menjadi seorang yang mampu memaafkan dan mengayomi.

Karena itu ketika Yesus meminta agar kita mencintai orang lain, hal ini sesungguhnya bukanlah suatu perintah yang membebankan, tetapi lebih merupakan suatu ungkapan terima kasih kita kepada orang lain. Yohanes dalam suratnya mengatakan bahwa kita mencintai Allah karena Allah telah terlebih dahulu mencintai kita. Hal yang sama juga terjadi ketika kita berhadapan dengan orang lain. Kita mencintai orang lain karena orang lain telah lebih dahulu mencintai kita. Kita mencintai orang lain karena orang lain telah lebih dahulu membantu kita menjadi seorang yang manusiawi. Kita mencintai orang lain karena kita adalah makhluk yang tahu berterima kasih, makhluk yang tahu bersyukur, makhluk yang beradab.

Benar bahwa cinta yang ada dalam mimpi adalah cinta yang indah, namun berat untuk dihidupkan. Gagasan tentang cinta, pembicaraan tentang cinta terhadap Allah dan sesama adalah hal yang mudah. Namun kita semua setuju bahwa hal ini berat untuk dilaksanakan. Cinta yang dihidupkan adalah cinta yang membutuhkan curahan keringat, cinta yang membutuhkan usaha. Karena itu, mari kita menutupi diskusi kita saat ini tentang cinta, dan saat ini juga, detik ini juga marilah kita mulai menghidupkan cinta tersebut in action, menjadikan cinta sebagai warna dasar hidup harian kita. Berkat Tuhan menyertai kita selalu.
(diambil dari pondok renungan)

Sie Liturgie´