Serial Tata Gerak Liturgi dalam Perayaan Ekaristi (Part 3)
MENGHORMATI ALTAR & TABERNAKEL
Ketika orang Katolik memasuki Gereja, ia membuat tanda salib. Lalu bergerak mencari tempat duduk. Eits, nyelonong duduk ajah, ga liat di depan ada altar Tuhan dan Tabernakel yah?
Sebelum duduk dan keluar meninggalkan kursi, kita berlutut terlebih dahulu dengan lutut sampai ke tanah ke arah panti imam.
Kenapa sih harus begitu? Kok ribet amat ya? Ya jelas dong, Gereja kan ga sama dengan gedung bioskop atau mall. Tapi seringkali kita melihat umat yang tidak berlutut dan kalaupun berlutut, asal-asal aja yang penting udah lakuin, beres.
Sebenarnya tahu ga sih maknanya kalo kita berlutut dulu sebelum duduk dan keluar meninggalkan kursi kita?
Di panti imam terdapat altar, mimbar, dan kursi imam. Ketiga perabot ini ibaratnya satu paket yang amat penting dan bermakna. Ketiganya menopang tindakan-tindakan liturgis selama Misa. Imam selebran akan secara bertahap menggunakan perabot itu. Perabot pertama yang dituju adalah altar. Namun, dalam Ritus Pembuka, altar baru sebatas dituju untuk dihormati dengan beberapa sikap tubuh, baik yang secara khusus dilakukan oleh imam maupun oleh petugas liturgi lainnya. Tuh kan petugas liturgi aja menghormati altar Tuhan, kenapa kita enggak? Emang ada apa dengan Altar?
PUMR 296 merumuskan altar sebagai ”tempat untuk menghadirkan kurban Salib dengan menggunakan tanda-tanda sakramental. Sekaligus altar merupakan meja perjamuan Tuhan, dan dalam Misa umat Allah dihimpun di sekeliling altar untuk mengambil bagian dalam perjamuan itu. Kecuali itu, altar juga merupakan pusat ucapan syukur yang diselenggarakan dalam Misa.” Ada tiga metafora yang saling melengkapi: altar untuk kurban Tubuh-Darah Kristus, meja Tuhan untuk perjamuan di akhir zaman, dan pusat pengucapan syukur umat dalam kesatuan dengan seluruh Gereja. Altar itu sebaiknya permanen, materinya batu, dan berbentuk meja, sehingga secara jelas dan lestari menghadirkan Kristus, Sang Batu Hidup (1 Ptr 2:4).
Lilin ditaruh di atas atau di sekitar altar, sesuai dengan bentuk altar dan tata ruang panti imam. Di atas atau di dekat altar hendaknya dipajang sebuah salib dengan sosok Kristus tersalib. Salib itu harus mudah dilihat oleh seluruh umat. Semuanya harus ditata secara serasi, dan tidak boleh menghalangi pandangan umat, sehingga umat dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi di altar atau yang diletakkan di atasnya (PUMR 304-308). Lebih lanjut lihat: http:// www.hidupkatolik.com/2011/ 06/15/ menghormati-altar-dan-taber nakel#sthash.r8JyzBtB.dpuf
Mengingat makna dan keistimewaannya, maka altar sebagai simbol Kristus pun dihormati dengan beberapa cara. Semua petugas membungkuk pada altar ketika menghampirinya dan hendak memulai tugas. Ketika Ritus Pembuka imam selebran menciumnya, lalu jika perlu juga mendupai altar dan salib. Dalam Ritus Penutup, sebelum meninggalkan panti imam, ia kembali mencium dan membungkuk lagi bersama petugas lainnya.
SELAIN ADA ALTAR, ADA APA LAGI YANG HARUS KITA HORMATI?
Seringkali ada juga tabernakel di panti imam. Idealnya, tabernakel disendirikan di sebuah kapel khusus yang dapat dijangkau dengan mudah dari panti imam. Tabernakel memang sebenarnya tak diperhitungkan sebagai bagian dalam Misa. Fungsinya berkaitan dengan ritual setelah Misa, yakni untuk menyimpan Tubuh Kristus yang belum disantap dalam Misa atau yang dikhususkan bagi orang sakit yang tak bisa hadir dalam Misa dan bagi kegiatan adorasi.
Letak tabernakel di panti imam juga tak seragam. Ada yang di belakang atau samping altar. Tabernakel dihormati oleh setiap petugas yang melewati atau menghampirinya. Jika di belakang altar terdapat tabernakel yang berisi Sakramen Mahakudus, maka penghormatan awal untuk altar dijadikan satu dengan untuk tabernakel, yakni dengan cara berlutut. Berlutut adalah sikap hormat tertinggi yang khusus diberikan bagi Sakramen Mahakudus. Simbolsimbol Kristus lainnya (imam, Kitab Injil, altar, salib) dihormati dengan cara membungkukkan badan.
Jadi penghormatan terhadap tabernakel dan altar Tuhan kita lakukan dengan berlutut (lutut menyentuh tanah). Jika di stasi/ kapel kecil, biasanya tidak ada Tabernakel, jadi kita cukup membungkukkan badan saja.
BAGAIMANA DENGAN MEREKA YANG LANJUT USIA?
Selama kondisi tubuh masih sehat dan tidak ada gangguan, hal ini masih mungkin dilakukan. (admin Pax et Bonum: Gereja pun sadar dan tahu bahwa ada umatnya yang tidak mampu secara fisik untuk mengikuti seluruh atau sebagian tata gerak ibadah Gereja Katolik. Sikap alternatif yang dianjurkan oleh Gereja adalah MEMBUNGKUK.) Namun, bagi kita yang masih muda, sehat, dan segar bugar, tidak ada alasan loh untuk tidak melakukannya.
Tuhan Yesus ada di hadapanmu, apakah yang selayaknya kita lakukan selain berlutut menyembah dan menghormati Dia?
Sebelum duduk dan keluar meninggalkan kursi, kita berlutut terlebih dahulu dengan lutut sampai ke tanah ke arah panti imam.
Kenapa sih harus begitu? Kok ribet amat ya? Ya jelas dong, Gereja kan ga sama dengan gedung bioskop atau mall. Tapi seringkali kita melihat umat yang tidak berlutut dan kalaupun berlutut, asal-asal aja yang penting udah lakuin, beres.
Sebenarnya tahu ga sih maknanya kalo kita berlutut dulu sebelum duduk dan keluar meninggalkan kursi kita?
Di panti imam terdapat altar, mimbar, dan kursi imam. Ketiga perabot ini ibaratnya satu paket yang amat penting dan bermakna. Ketiganya menopang tindakan-tindakan liturgis selama Misa. Imam selebran akan secara bertahap menggunakan perabot itu. Perabot pertama yang dituju adalah altar. Namun, dalam Ritus Pembuka, altar baru sebatas dituju untuk dihormati dengan beberapa sikap tubuh, baik yang secara khusus dilakukan oleh imam maupun oleh petugas liturgi lainnya. Tuh kan petugas liturgi aja menghormati altar Tuhan, kenapa kita enggak? Emang ada apa dengan Altar?
PUMR 296 merumuskan altar sebagai ”tempat untuk menghadirkan kurban Salib dengan menggunakan tanda-tanda sakramental. Sekaligus altar merupakan meja perjamuan Tuhan, dan dalam Misa umat Allah dihimpun di sekeliling altar untuk mengambil bagian dalam perjamuan itu. Kecuali itu, altar juga merupakan pusat ucapan syukur yang diselenggarakan dalam Misa.” Ada tiga metafora yang saling melengkapi: altar untuk kurban Tubuh-Darah Kristus, meja Tuhan untuk perjamuan di akhir zaman, dan pusat pengucapan syukur umat dalam kesatuan dengan seluruh Gereja. Altar itu sebaiknya permanen, materinya batu, dan berbentuk meja, sehingga secara jelas dan lestari menghadirkan Kristus, Sang Batu Hidup (1 Ptr 2:4).
Lilin ditaruh di atas atau di sekitar altar, sesuai dengan bentuk altar dan tata ruang panti imam. Di atas atau di dekat altar hendaknya dipajang sebuah salib dengan sosok Kristus tersalib. Salib itu harus mudah dilihat oleh seluruh umat. Semuanya harus ditata secara serasi, dan tidak boleh menghalangi pandangan umat, sehingga umat dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi di altar atau yang diletakkan di atasnya (PUMR 304-308). Lebih lanjut lihat: http://
Mengingat makna dan keistimewaannya, maka altar sebagai simbol Kristus pun dihormati dengan beberapa cara. Semua petugas membungkuk pada altar ketika menghampirinya dan hendak memulai tugas. Ketika Ritus Pembuka imam selebran menciumnya, lalu jika perlu juga mendupai altar dan salib. Dalam Ritus Penutup, sebelum meninggalkan panti imam, ia kembali mencium dan membungkuk lagi bersama petugas lainnya.
SELAIN ADA ALTAR, ADA APA LAGI YANG HARUS KITA HORMATI?
Seringkali ada juga tabernakel di panti imam. Idealnya, tabernakel disendirikan di sebuah kapel khusus yang dapat dijangkau dengan mudah dari panti imam. Tabernakel memang sebenarnya tak diperhitungkan sebagai bagian dalam Misa. Fungsinya berkaitan dengan ritual setelah Misa, yakni untuk menyimpan Tubuh Kristus yang belum disantap dalam Misa atau yang dikhususkan bagi orang sakit yang tak bisa hadir dalam Misa dan bagi kegiatan adorasi.
Letak tabernakel di panti imam juga tak seragam. Ada yang di belakang atau samping altar. Tabernakel dihormati oleh setiap petugas yang melewati atau menghampirinya. Jika di belakang altar terdapat tabernakel yang berisi Sakramen Mahakudus, maka penghormatan awal untuk altar dijadikan satu dengan untuk tabernakel, yakni dengan cara berlutut. Berlutut adalah sikap hormat tertinggi yang khusus diberikan bagi Sakramen Mahakudus. Simbolsimbol Kristus lainnya (imam, Kitab Injil, altar, salib) dihormati dengan cara membungkukkan badan.
Jadi penghormatan terhadap tabernakel dan altar Tuhan kita lakukan dengan berlutut (lutut menyentuh tanah). Jika di stasi/ kapel kecil, biasanya tidak ada Tabernakel, jadi kita cukup membungkukkan badan saja.
BAGAIMANA DENGAN MEREKA YANG LANJUT USIA?
Selama kondisi tubuh masih sehat dan tidak ada gangguan, hal ini masih mungkin dilakukan. (admin Pax et Bonum: Gereja pun sadar dan tahu bahwa ada umatnya yang tidak mampu secara fisik untuk mengikuti seluruh atau sebagian tata gerak ibadah Gereja Katolik. Sikap alternatif yang dianjurkan oleh Gereja adalah MEMBUNGKUK.) Namun, bagi kita yang masih muda, sehat, dan segar bugar, tidak ada alasan loh untuk tidak melakukannya.
Tuhan Yesus ada di hadapanmu, apakah yang selayaknya kita lakukan selain berlutut menyembah dan menghormati Dia?
0 comments:
Kommentar veröffentlichen