Tujuh Kalimat Wasiat dari Atas Salib
Tujuh kalimat yang diucapkan Yesus di atas salib telah dijadikan topik menarik untuk direnungkan. Haydn telah menuangkannya dalam bentuk musik yang menawan atas permintaan gereja Katedral Cádiz. Di samping dalam bentuk musik ada banyak bentuk meditasi lain yang didasarkan pada kata akhir masa hidup Yesus ini. Mel Gibson membawa tak hanya peristiwa di atas salib, tetapi semua kisah sekitar penderitaan dan penyaliban Yesus itu ke layar lebar dalam Filem “The Passion of The Christ”. Mari kita juga mencoba merenungkan kalimat-kalimat wasiat tersebut terutama di masa prapaska ini.
Penderitaan dan kematian Yesus merupakan saat yang paling hikmat dalam sejarah manusia. Seorang Anak Allah dibunuh, seorang Anak Allah dikorbankan secara tak adil. Seorang yang paling disayangi, seorang yang selalu diikuti massa ketika masih menapaki dunia fana ini kini disalibkan. Dua ribu tahun sejak saat penyalibanNya kini telah berlalu, namun kitab Suci membantu kita untuk mampu melihat kejadian masa itu secara amat jelas.
Suatu sore di musim semi. Sebuah penghukuman kejam terjadi. Ditonton kerumunan massa. Yah saat itu menjelang hari pesta sehingga banyak orang berdatangan ke Yerusalem. Di sore itu bumi diguncang gempa yang dahsyat. Langit menjadi gelap karena sebuah gerhana yang melampaui kekuatan natural. Ada tiga salib terpancang di Golgotha. Di kiri kanannya adalah dua penjahat yang disalibkan karena kejahatan yang pernah mereka perbuat. Di tengahnya tergantung Anak manusia yang dihukum karena tak berdosa. Ia mati karena dosa yang dibuat umat manusia. Ia mati karena aku dan engkau.
Tujuh kalimat Ia tinggalkan dari atas salib sebagai bab penutup, bab terakhir buku kehidupanNya. Sebelum kegelapan mencekam bukit Golgotha, Yesus memberikan tiga kalimat. Tiga kalimat yang ditujukan bagi musuhNya, bagi temanNya, dan bagi sanak keluargaNya. Ketika sedang dilanda kegelapan gerhana, Ia memberikan satu kalimat, sebuah keluhan ketika ditinggalkan sendirian. Setelah kegelapan berakhir Ia memberikan tiga kalimat yang terakhir sebagai ungkapan kasihNya.
1. “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (Lukas 23:34).
Adalah hal yang biasa bagi mereka yang sedang disalibkan untuk berteriak dari atas salib. Namun kata-kata mereka penuh berisi ungkapan penderitaan dan permintaan untuk dibebaskan. Mereka akan mencaci maki serta membuang ludah kepada semua yang menonton kejadian tersebut. Kata-kata mereka adalah kata-kata pembalasan dendam yang tak dapat diungkapkan dengan tindakan nyata.
Namun Yesus yang tersalib, yang seluruh dagingnya kini telah tersobek, yang kini tergantung telanjang tanpa seutas benang melekat di tubuhNya. Yesus yang harus menhadapi suatu kematian yang teramat memalukan. Ia tidak berteriak mencaci-maki para penghukumNya. Ia tidak meminta agar Ia dibebaskan dari penghukuman itu. Sebaliknya, Ia berdoa bagi musuh-musuhNya, Ia berdoa bagi mereka yang telah mencabik tubuhNya. Ia berdoa bagi mereka yang telah menelanjangi diriNya dan yang mengangkat palu memaku tangan dan kakiNya di kayu salib. Ia berdoa bagi mereka yang melontarkan kata-kata hujatan terhadapnya. Ia berdoa bagi mereka yang kini membuang undi atas pakaianNya.
Yesus sesungguhnya memiliki kuasa untuk menjadikan bumi terbuka dan menelan semua musuhnya hidup-hidup. Namun di sini, di atas salib ini, di bab terakhir buku kehidupanNya, Ia justru melakukan apa yang telah diajarkanNya semasa hidupNya: “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.” (Mat 5:43-44). Pada kesempatan lain Ia mengajarkan para muridNya untuk memaafkan tujuh puluh kali tujuh kali.
Yesus tahu bahwa memafkan orang lain adalah sesuatu yang tidak mudah. Karena itu di akhir hidupNya Ia mengingatkan kita sekali lagi betapa pentingnya memaafkan orang lain sebagai prasyarat utama agar kitapun diampuni. “Ampunilah kesalahan kami, seperti kamipun mengampuni orang yang bersalah kepada kami.”Ia melaksanakan apa yang pernah diajarkanNya. Ia memberikan kepada kita suatu teladan yang nyata.
Anda dan aku pasti memiliki seseorang yang menyakiti diri kita. Dapatkah anda berdoa bagi dia yang menyakitimu??Kita telah diampuni secara cuma-cuma, karena itu kitapun selayaknya mau mengampuni orang lain tanpa syarat.
2. “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.” (Luk 23: 42-43).
Di kiri kanan Yesus tergantung juga dua penjahat. Keduanya dibuktikan bersalah menurut tata hukum mereka. Hukuman yang mereka terima adalah ganjaran yang setimpal atas apa yang telah mereka perbuat semasa hidup mereka. Tubuh mereka mengeluarkan darah, dan kepedihan merajai diri. Satu di antaranya tak mampu menahan diri dan bergabung dengan paduan suara para serdadu secara lantang mengeluarkan kata-kata hujatan; “Bukankah Engkau adalah Kristus? Selamatkanlah diri-Mu dan kami!”
Namun penjahat yang lain kini dirundung rasa takut akan Allah justru di saat ketika ia mendekati pintu kematiannya. “Tidakkah engkau takut, juga tidak kepada Allah, sedang engkau menerima hukuman yang sama? Kita memang selayaknya dihukum, sebab kita menerima balasan yang setimpal dengan perbuatan kita, tetapi orang ini tidak berbuat sesuatu yang salah.” Ia lalu dengan penuh rendah hati berkata kepada Yesus; “Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja.” Penjahat ini mengakui diri sebagai seorang bersalah, dan inilah jalan menuju keselamatan.
Di hadapan Tuhan, setiap kita hendaknya secara rendah hati mengakui kelamahan kita, mengakui bahwa kita adalah makhluk yang tak sempurna. Kita bagaikan domba yang hilang yang membutuhkan sang gembala yang baik. Ketika sang penjahat mengakui kesalahannya, Yesus tidak mengadili dirinya, tetapi berkata penuh kasih; “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.” Yesus memberikan jaminan, bahwa Ia tak hanya mengingat penjahat tersebut, tetapi bahwa Ia akan membawanya serta menuju taman kebahagiaan di mana tak pernah ada lagi penderitaan, tak pernah ada lagi tangisan dan air mata. Oh…sungguh suatu rahmat yang teramat besar!!! Ia yang tak pantas untuk mendiami dunia ini dan karenanya harus digantung antara langit dan bumi, kini dijadikan pantas mendiami tanah kebahagiaan abadi. Dan ini hanya terjadi ketika sang penjahat itu mengakui diri sebagai pendosa, dan meletakan bebannya di atas pundak sang Anak Domba Allah yang kini tergantung di sampingnya.
3. “Ibu, inilah, anakmu! Inilah ibumu!” (Yoh 19:26-27)
Sungguh suatu kebahagiaan yang teramat besar untuk mengetahui bahwa di tengah kerumunan orang-orang yang menghujat dan menolak, ada juga orang yang memberikan dukungan. Ketika Yesus menundukan kepala, Ia melihat ibuNya berdiri di kaki salib itu. Di sampingnya berdiri murid kesayanganNya, Yohanes. Kelompok kecil ini telah secara berani menentang arus massa yang tak henti meneriakan kata-kata hujatan kepada Yesus. Kelompok kecil inilah justru merupakan penghiburan besar bagiNya, dan Yesus secara lantang berkata; “Ibu, inilah anakmu! Dan kepada Yohanes; Inilah ibumu!”
Betapa pedih hati sang ibu yang berdiri menonton adegan paling yang terjadi atas diri anak tunggalnya sendiri. Para murid Yesus telah melarikan diri. Teman-temanNya telah meninggalkanNya. Ia ditolak oleh bangsaNya sendiri. Dan para musuhnya secara lantang berteriak menuntut darahNya. IbuNya berdiri di kaki salibNya. Pedih..!! LukaNya mengucurkan darah segar. Namun ibuNya tak mampu mengusap darah yang kini bergulir jatuh. Kerongkongannya kering, namun tak ada setetes airpun yang mampu menyegarkannya. Sungguh duri-duri di kepala Yesuspun menusuk bathin ibuNya.
Kata-kata yang tertulis di atas batu di gunung Sinai kini berdengung keras; “Hormatilah ibu dan bapamu.” Adegan di kaki salib menjadi amat jelas menunjukan alasan mengapa kita harus menghormati orang tua kita. Sebilah pedang menembusi bathin orang tua kita mana kala kita anak-anak mereka dirundung nestapa.
4. “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mat 27:45-46).
Yesus telah berdoa bagi para musuhNya, Ia menjanjikan kehidupan baru bagi penjahat di sampingNya, memberikan penghiburan bagi IbuNya. Setelah semuanya itu, adegan baru kini terjadi. Beberapa jam kini berlalu. Sejak jam dua belas hingga jam tiga sore kegelapan meliputi bumi. Semua yang menonton adegan penyalibanNya bergegas pulang menuju Yerusalem sebelum ditelan kegelapan. Dan di tengah kegelapan itu Yesus berteriak; “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”
Selama masa pelayananNya Yesus paham apa artinya ditinggalkan. Ia ditolak oleh orang-orangNya sendiri. Ia ditolak di tanah kelahiranNya sendiri. Ia ditolak oleh sanak keluargaNya sendiri. Namun dalam kesempatan-kesempatan seperti itu Ia masih tetap mempertahankan keintimanNya dengan bapaNya. Namun kali ini… Bahkan BapaNya seakan meninggalkanNya. Dalam Kitab Suci ada tertulis; “Mereka yang menjadi budak dosa akan mati.” Mereka yang menjadi budak budak dosa ditinggalkan Tuhan. Dan Yesus ditinggalkan BapaNya, justru karena dosa-dosa kita. Kita yang seharusnya menerima kematian telah ditebus dengan penderitaan di salib.
5. “Aku haus!” (Yoh 19;28).
Kegelapan kini berlalu. Matahari bersinar lagi. Namun di saat Yesus mendekati kematianNya, Ia dilanda kehausan yang hebat. Kematian dengan cara penyaliban merupakan suatu bentuk penyiksaan yang paling menyakitkan yang pernah dialami manusia. Darah yang bergulir jatuh menyebabkan kekurangan zat cair dalam tubuh. Seluruh tubuh berteriak meminta seteguk air. Kepahitan dan kepedihan lahiriah karena kehausan ini sungguh melampaui ungkapan kata-kata manusiawi.
Dapatkah anda melukiskan wajah Yesus di salib? Muka yang tak dikenal lagi karena berlumuran darah. Dan mampukah engkau mendengar tetesan darah yang mengalir jatuh dari tangan dan kakinya? Dapatkah engkau melihat aliran darah yang bergulir di sekujur tubuhNya? Di kaki salibNya, darah Yesus menumpuk tinggi. Tidak heran kalau mukanya bagaikan dibakar dan ia berteriak “Aku haus!” Yesus menderita karena diriku.
6. “Sudah selesai.” (Yoh 19:30).
Ketika Yesus berkata bahwa Ia haus, mereka yang berada di kaki salibNya memberikanNya anggur asam (cuka). Para serdadu seakan belum merasa puas menganiaya Yesus dengan cambuk dan rotan. Mereka belum puas dengan menelanjangi diri Yesus. Kini sebagai ganti memberikan air yang segar, Ia diberi cuka sehingga kerongkonganNya menjadi sungguh terbakar. Setelah meneguk ai asam itu Yesus berkata; “Sudah selesai.” Bab terakhir buku kehidupanNya kini ditutup secara asam.
Penderitaan maha dalam kini segera berakhir. Inilah tujuan hidupNya, yakni mengalahkan penderitaan kegelapan dan penderitaan akibat dosa. Kini Ia boleh membulatkan suara dan bersorak riang: “Sudah selesai.” Ia telah menyelesaikan segala hal yang pernah diramalkan para nabi dalam kitab Perjanjian Lama. Iapun telah menyelesaikan misi khusus yang diberikan BapaNya untuk menyelamatkan umat manusia. Terima kasih ya Yesusku!!
7. “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku.” (Luk 23;46).
Enam jam kini berlalu. Selama waktu tersebut tubuh Yesus tergantung kulai di atas salib. Kini nafas Yesus mulai tersentak. Sekujur tubuh bergetar keras, sampai akhirnya Ia menarik nafas panjang dan berseru; “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku.”
Sepanjang hidupNya Yesus selalau mempercayakan diriNya ke dalam tangan BapaNya. Kini di akhir hidupNya Iapun menyerahkan diri seutuhnya ke dalam tangan BapaNya. “Bapa, ke dalam tanganMu keserahkan nyawaku.”
Yesus telah mati untuk kita, untuk aku dan engkau. Namun kisah kita tidak berakhir di sini. Karena sesudah adegan Golgotha, ada peristiwa kebangkitan. Inilah misteri iman kita yang sering kita dengungkan. Tanpa kebangkitan, penderitaan dan kematian Yesus menjadi tak berarti. Ia mati untuk membawa suatu harapan baru.
Diambil dari Pondok Renungan
Sie Liturgie
Penderitaan dan kematian Yesus merupakan saat yang paling hikmat dalam sejarah manusia. Seorang Anak Allah dibunuh, seorang Anak Allah dikorbankan secara tak adil. Seorang yang paling disayangi, seorang yang selalu diikuti massa ketika masih menapaki dunia fana ini kini disalibkan. Dua ribu tahun sejak saat penyalibanNya kini telah berlalu, namun kitab Suci membantu kita untuk mampu melihat kejadian masa itu secara amat jelas.
Suatu sore di musim semi. Sebuah penghukuman kejam terjadi. Ditonton kerumunan massa. Yah saat itu menjelang hari pesta sehingga banyak orang berdatangan ke Yerusalem. Di sore itu bumi diguncang gempa yang dahsyat. Langit menjadi gelap karena sebuah gerhana yang melampaui kekuatan natural. Ada tiga salib terpancang di Golgotha. Di kiri kanannya adalah dua penjahat yang disalibkan karena kejahatan yang pernah mereka perbuat. Di tengahnya tergantung Anak manusia yang dihukum karena tak berdosa. Ia mati karena dosa yang dibuat umat manusia. Ia mati karena aku dan engkau.
Tujuh kalimat Ia tinggalkan dari atas salib sebagai bab penutup, bab terakhir buku kehidupanNya. Sebelum kegelapan mencekam bukit Golgotha, Yesus memberikan tiga kalimat. Tiga kalimat yang ditujukan bagi musuhNya, bagi temanNya, dan bagi sanak keluargaNya. Ketika sedang dilanda kegelapan gerhana, Ia memberikan satu kalimat, sebuah keluhan ketika ditinggalkan sendirian. Setelah kegelapan berakhir Ia memberikan tiga kalimat yang terakhir sebagai ungkapan kasihNya.
1. “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (Lukas 23:34).
Adalah hal yang biasa bagi mereka yang sedang disalibkan untuk berteriak dari atas salib. Namun kata-kata mereka penuh berisi ungkapan penderitaan dan permintaan untuk dibebaskan. Mereka akan mencaci maki serta membuang ludah kepada semua yang menonton kejadian tersebut. Kata-kata mereka adalah kata-kata pembalasan dendam yang tak dapat diungkapkan dengan tindakan nyata.
Namun Yesus yang tersalib, yang seluruh dagingnya kini telah tersobek, yang kini tergantung telanjang tanpa seutas benang melekat di tubuhNya. Yesus yang harus menhadapi suatu kematian yang teramat memalukan. Ia tidak berteriak mencaci-maki para penghukumNya. Ia tidak meminta agar Ia dibebaskan dari penghukuman itu. Sebaliknya, Ia berdoa bagi musuh-musuhNya, Ia berdoa bagi mereka yang telah mencabik tubuhNya. Ia berdoa bagi mereka yang telah menelanjangi diriNya dan yang mengangkat palu memaku tangan dan kakiNya di kayu salib. Ia berdoa bagi mereka yang melontarkan kata-kata hujatan terhadapnya. Ia berdoa bagi mereka yang kini membuang undi atas pakaianNya.
Yesus sesungguhnya memiliki kuasa untuk menjadikan bumi terbuka dan menelan semua musuhnya hidup-hidup. Namun di sini, di atas salib ini, di bab terakhir buku kehidupanNya, Ia justru melakukan apa yang telah diajarkanNya semasa hidupNya: “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.” (Mat 5:43-44). Pada kesempatan lain Ia mengajarkan para muridNya untuk memaafkan tujuh puluh kali tujuh kali.
Yesus tahu bahwa memafkan orang lain adalah sesuatu yang tidak mudah. Karena itu di akhir hidupNya Ia mengingatkan kita sekali lagi betapa pentingnya memaafkan orang lain sebagai prasyarat utama agar kitapun diampuni. “Ampunilah kesalahan kami, seperti kamipun mengampuni orang yang bersalah kepada kami.”Ia melaksanakan apa yang pernah diajarkanNya. Ia memberikan kepada kita suatu teladan yang nyata.
Anda dan aku pasti memiliki seseorang yang menyakiti diri kita. Dapatkah anda berdoa bagi dia yang menyakitimu??Kita telah diampuni secara cuma-cuma, karena itu kitapun selayaknya mau mengampuni orang lain tanpa syarat.
2. “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.” (Luk 23: 42-43).
Di kiri kanan Yesus tergantung juga dua penjahat. Keduanya dibuktikan bersalah menurut tata hukum mereka. Hukuman yang mereka terima adalah ganjaran yang setimpal atas apa yang telah mereka perbuat semasa hidup mereka. Tubuh mereka mengeluarkan darah, dan kepedihan merajai diri. Satu di antaranya tak mampu menahan diri dan bergabung dengan paduan suara para serdadu secara lantang mengeluarkan kata-kata hujatan; “Bukankah Engkau adalah Kristus? Selamatkanlah diri-Mu dan kami!”
Namun penjahat yang lain kini dirundung rasa takut akan Allah justru di saat ketika ia mendekati pintu kematiannya. “Tidakkah engkau takut, juga tidak kepada Allah, sedang engkau menerima hukuman yang sama? Kita memang selayaknya dihukum, sebab kita menerima balasan yang setimpal dengan perbuatan kita, tetapi orang ini tidak berbuat sesuatu yang salah.” Ia lalu dengan penuh rendah hati berkata kepada Yesus; “Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja.” Penjahat ini mengakui diri sebagai seorang bersalah, dan inilah jalan menuju keselamatan.
Di hadapan Tuhan, setiap kita hendaknya secara rendah hati mengakui kelamahan kita, mengakui bahwa kita adalah makhluk yang tak sempurna. Kita bagaikan domba yang hilang yang membutuhkan sang gembala yang baik. Ketika sang penjahat mengakui kesalahannya, Yesus tidak mengadili dirinya, tetapi berkata penuh kasih; “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.” Yesus memberikan jaminan, bahwa Ia tak hanya mengingat penjahat tersebut, tetapi bahwa Ia akan membawanya serta menuju taman kebahagiaan di mana tak pernah ada lagi penderitaan, tak pernah ada lagi tangisan dan air mata. Oh…sungguh suatu rahmat yang teramat besar!!! Ia yang tak pantas untuk mendiami dunia ini dan karenanya harus digantung antara langit dan bumi, kini dijadikan pantas mendiami tanah kebahagiaan abadi. Dan ini hanya terjadi ketika sang penjahat itu mengakui diri sebagai pendosa, dan meletakan bebannya di atas pundak sang Anak Domba Allah yang kini tergantung di sampingnya.
3. “Ibu, inilah, anakmu! Inilah ibumu!” (Yoh 19:26-27)
Sungguh suatu kebahagiaan yang teramat besar untuk mengetahui bahwa di tengah kerumunan orang-orang yang menghujat dan menolak, ada juga orang yang memberikan dukungan. Ketika Yesus menundukan kepala, Ia melihat ibuNya berdiri di kaki salib itu. Di sampingnya berdiri murid kesayanganNya, Yohanes. Kelompok kecil ini telah secara berani menentang arus massa yang tak henti meneriakan kata-kata hujatan kepada Yesus. Kelompok kecil inilah justru merupakan penghiburan besar bagiNya, dan Yesus secara lantang berkata; “Ibu, inilah anakmu! Dan kepada Yohanes; Inilah ibumu!”
Betapa pedih hati sang ibu yang berdiri menonton adegan paling yang terjadi atas diri anak tunggalnya sendiri. Para murid Yesus telah melarikan diri. Teman-temanNya telah meninggalkanNya. Ia ditolak oleh bangsaNya sendiri. Dan para musuhnya secara lantang berteriak menuntut darahNya. IbuNya berdiri di kaki salibNya. Pedih..!! LukaNya mengucurkan darah segar. Namun ibuNya tak mampu mengusap darah yang kini bergulir jatuh. Kerongkongannya kering, namun tak ada setetes airpun yang mampu menyegarkannya. Sungguh duri-duri di kepala Yesuspun menusuk bathin ibuNya.
Kata-kata yang tertulis di atas batu di gunung Sinai kini berdengung keras; “Hormatilah ibu dan bapamu.” Adegan di kaki salib menjadi amat jelas menunjukan alasan mengapa kita harus menghormati orang tua kita. Sebilah pedang menembusi bathin orang tua kita mana kala kita anak-anak mereka dirundung nestapa.
4. “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mat 27:45-46).
Yesus telah berdoa bagi para musuhNya, Ia menjanjikan kehidupan baru bagi penjahat di sampingNya, memberikan penghiburan bagi IbuNya. Setelah semuanya itu, adegan baru kini terjadi. Beberapa jam kini berlalu. Sejak jam dua belas hingga jam tiga sore kegelapan meliputi bumi. Semua yang menonton adegan penyalibanNya bergegas pulang menuju Yerusalem sebelum ditelan kegelapan. Dan di tengah kegelapan itu Yesus berteriak; “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”
Selama masa pelayananNya Yesus paham apa artinya ditinggalkan. Ia ditolak oleh orang-orangNya sendiri. Ia ditolak di tanah kelahiranNya sendiri. Ia ditolak oleh sanak keluargaNya sendiri. Namun dalam kesempatan-kesempatan seperti itu Ia masih tetap mempertahankan keintimanNya dengan bapaNya. Namun kali ini… Bahkan BapaNya seakan meninggalkanNya. Dalam Kitab Suci ada tertulis; “Mereka yang menjadi budak dosa akan mati.” Mereka yang menjadi budak budak dosa ditinggalkan Tuhan. Dan Yesus ditinggalkan BapaNya, justru karena dosa-dosa kita. Kita yang seharusnya menerima kematian telah ditebus dengan penderitaan di salib.
5. “Aku haus!” (Yoh 19;28).
Kegelapan kini berlalu. Matahari bersinar lagi. Namun di saat Yesus mendekati kematianNya, Ia dilanda kehausan yang hebat. Kematian dengan cara penyaliban merupakan suatu bentuk penyiksaan yang paling menyakitkan yang pernah dialami manusia. Darah yang bergulir jatuh menyebabkan kekurangan zat cair dalam tubuh. Seluruh tubuh berteriak meminta seteguk air. Kepahitan dan kepedihan lahiriah karena kehausan ini sungguh melampaui ungkapan kata-kata manusiawi.
Dapatkah anda melukiskan wajah Yesus di salib? Muka yang tak dikenal lagi karena berlumuran darah. Dan mampukah engkau mendengar tetesan darah yang mengalir jatuh dari tangan dan kakinya? Dapatkah engkau melihat aliran darah yang bergulir di sekujur tubuhNya? Di kaki salibNya, darah Yesus menumpuk tinggi. Tidak heran kalau mukanya bagaikan dibakar dan ia berteriak “Aku haus!” Yesus menderita karena diriku.
6. “Sudah selesai.” (Yoh 19:30).
Ketika Yesus berkata bahwa Ia haus, mereka yang berada di kaki salibNya memberikanNya anggur asam (cuka). Para serdadu seakan belum merasa puas menganiaya Yesus dengan cambuk dan rotan. Mereka belum puas dengan menelanjangi diri Yesus. Kini sebagai ganti memberikan air yang segar, Ia diberi cuka sehingga kerongkonganNya menjadi sungguh terbakar. Setelah meneguk ai asam itu Yesus berkata; “Sudah selesai.” Bab terakhir buku kehidupanNya kini ditutup secara asam.
Penderitaan maha dalam kini segera berakhir. Inilah tujuan hidupNya, yakni mengalahkan penderitaan kegelapan dan penderitaan akibat dosa. Kini Ia boleh membulatkan suara dan bersorak riang: “Sudah selesai.” Ia telah menyelesaikan segala hal yang pernah diramalkan para nabi dalam kitab Perjanjian Lama. Iapun telah menyelesaikan misi khusus yang diberikan BapaNya untuk menyelamatkan umat manusia. Terima kasih ya Yesusku!!
7. “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku.” (Luk 23;46).
Enam jam kini berlalu. Selama waktu tersebut tubuh Yesus tergantung kulai di atas salib. Kini nafas Yesus mulai tersentak. Sekujur tubuh bergetar keras, sampai akhirnya Ia menarik nafas panjang dan berseru; “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku.”
Sepanjang hidupNya Yesus selalau mempercayakan diriNya ke dalam tangan BapaNya. Kini di akhir hidupNya Iapun menyerahkan diri seutuhnya ke dalam tangan BapaNya. “Bapa, ke dalam tanganMu keserahkan nyawaku.”
Yesus telah mati untuk kita, untuk aku dan engkau. Namun kisah kita tidak berakhir di sini. Karena sesudah adegan Golgotha, ada peristiwa kebangkitan. Inilah misteri iman kita yang sering kita dengungkan. Tanpa kebangkitan, penderitaan dan kematian Yesus menjadi tak berarti. Ia mati untuk membawa suatu harapan baru.
Diambil dari Pondok Renungan
Sie Liturgie
1 comments:
hehe.. ini pertama baca blog ini..
renungannya bagus..
klo tmn2 mw baca yg lainnya jg..
ada link yg menurutku oke nih..
www.imankatolik.or.id
ekaristi.org
salam
-david-
Kommentar veröffentlichen